Header Ads Widget

ASYIK Di Sepanjang 47 Kilometer

Alat peraga kampanye ASYIK di sekitar kecamatan cibinong

Oleh : Fahmi M.S Kartari

_(Sutradara Film Dokumenter & Pemerhati Sosial Politik)_

Tiba-tiba saja setelah lebaran Idul Fitri 1439 H, sebagian masyarakat di Indonesia harus bergegas menyambut Pilkada 2018 secara serentak di beberapa daerah. Mungkin baru di lebaran kali ini pergi-pulang mudik yang difikirkan adalah pertarungan politik atau bisa jadi obrolan di kampung halaman adalah perihal pilkada.

Bagi yang sudah punya pilihan tentu kian mantap dan yang masih mengambang masih harus membuka-buka pendapat di media sosial atau tanya sana dan sini. Bahkan yang berencana golput juga ada dan mereka coba dibujuk kembali bahwa menggunakan hak pilih bukan merupakan kesalahan sambil menerangkan sebuah doktrin ; "satu suara penting untuk memilih pemimpin yang tepat".

Perjalanan arus balik lebaran juga saya lakuan tanggal 18 Juni 2018, meskipun sebetulnya berjarak dekat tapi lumayan berat. Bukan karena macet berjam-jam yang kekesalannya dialami para pemudik yang kemudian mencak-mencak soal pencitraan sektor jalan tol. Yang saya lakukan adalah perjalanan dengan mengayuh sepeda penjelajah sejauh 47 kilometer dari rumah orang tua saya di Cileungsi Kabupaten Bogor menuju Bogor Kota.

Dalam perjalanan itu saya melintasi rute sepanjang Gunung Putri yang jauh dari keramaian dengan melintasi Cikeas, Bojong Nangka, Cibinong dan Jalan Raya Bogor. Perjalanan bersepeda ini juga mengangkut beberapa tas berisi pakaian mudik, termasuk ransel kecil di punggung saya. Saya memang mengkhayal bahwa perjalanan seperti ini layaknya lintas benua dan belum terfikirkan tentang pesta demokrasi yang akan tiba. Sejujurnya saat lebaran itu saya meliburkan diri sejenak dari berfikir tentang politik.

Sebelum berpamitan dan mencium tangan Ibu, saya minta doa untuk keselamatan perjalanan yang memeras fisik karena dari cuaca saat itu saya menyiapkan diri berjam-jam untuk dihajar sinar matahari terik. Ini kali pertama dilakukan sebab pada awal Ramadhan saya mengangkut sepeda ini dengan mobil mini bus taxi online dan dari situ saya tahu bahwa jarak tempuh kedua titik ini adalah 47 kilometer dan saya mengira-ngira apakah nanti saya mampu mengayuhnya?

Di kilometer pertama saya masih menikmati meluncur mulus di jalan yang masih sepi. Karena pada dasarnya saya adalah pemerhati sosial dan politik, belum apa-apa sudah memperhatikan atribut kampanye Pilgub Jawa Barat 2018. Yang paling pertama adalah sebuah poster kecil. Masih ingat foto viral seorang ibu muda berjilbab sambil menggendong anak dan menempelkan poster kecil bertuliskan Asyik sebagai jargon pasangan calon Sudrajat-Syaikhu? Ya seperti itu yang saya lihat di sebuah dinding di pinggir jalan!

Dari sepeda yang tidak melaju kencang itu, semua atribut di kiri, kanan hingga atas jalan itu mudah terlihat bahkan sambil membaca pesan-pesannya dan logo-logo parpol pendukungnya. Saya pun lekas bertanya-tanya sendiri kira-kira siapa yang paling mendominasi? Dan saya harus jujur menyampaikan apa adanya seolah seperti laporan pandangan mata.

Tiba di pertigaan jalan memasuki Cikeas, tidak jauh dari kediaman Pak Soesilo Bambang Yudhoyono, ternyata menumpuk atribut kampanye berupa spanduk ucapan selamat Idul Fitri 1439 H. Karena partai Pak SBY punya dukungan juga pada salah satu paslon tentu cukup jelas kehadiran spanduknya di situ. Pesaing utama di sudut pertigaan itu hanya paslon Asyik yang membentang lebar bersamaan dengan spanduk ucapan Idul Fitri dari Pak Fadli Zon dan Pak Prabowo Subianto!

Istirahat sebentar di pertigaan itu, saya melanjutkan perjalanan dan hingga cukup lama mengayuh, yang saya lihat hanya persaingan jumlah kedua paslon yang terlihat sejak pertigaan Cikeas hingga sepanjang jalan Bojong Nangka. Saya bahkan tidak melihat paslon lainnya, tapi bisa juga ada di beberapa sudut tapi saya luput melihatnya. Yang pasti, kian menjauh, kian banyak dan beragam atribut kampanye paslon Asyik yang dominan berwarna putih itu. Ada yang ditempel di jajaran pohon, tiang listrik, jembatan, hingga di sebuah pagar di antara pabrik di wilayah sekitar Cibinong.

Apakah ada kaitannya dengan dukungan buruh pada Pak Prabowo hingga spanduk itu berada di antara pabrik? Mungkin saja tapi yang saya perhatikan adalah kolase kotak biru dan merah di sebelah tulisan "Coblos Nomor 3" yang menyampaikan pesan optimis ; "2018 Asyik Menang - 2019 Ganti Presiden". Ya saya jadi teringat peristiwa debat cagub-cawagub ketika Pak Syaikhu menunjukkan kaos dengan tulisan serupa yang membuat gaduh diluar kesantunan dari masa pendukung di sebelahnya!

Ah luar biasa trik itu, tidak terantisipasi lawan sampai massa berbaju merah itu bersikap kasar sementara paslon Asyik tetap kalem mencerminkan kesantunannya yang memang apa adanya. Kejadian kaos "2018 Asyik Menang - 2019 Ganti Presiden" itu nyatanya malah tidak menghambat elektabilitas tertinggi paslon Asyik, sebaliknya massa emosi di kubu sebelah itu harus menerima kenyataan bahwa mereka semakin tertinggal.

Jumlah atribut memang tidak menjamin kemenangan paslon tertentu, banyak faktor yang menentukan dari yang positif dan negatif. Yang atribut kampanyenya terhitung sedikit, bisa saja keluar sebagai pemenang tapi setidaknya, jumlah atribut bisa menggambarkan kesiapan dan kesungguhan yang bisa saja dinilai ambisius atau juga tidak.

Jumlah atribut juga menunjukkan kesolidan serta keyakinan untuk menang dan kesanggupan memimpin daerahnya kelak. Cukup dari cara-cara legal dan elegan tersebut, masyarakat bisa memahami siapa yang layak dipilih, tidak harus dengan tebar sembako di siang dan malam hari yang malah beresiko seperti salah satu paslon terkuat di Pilgub DKI 2017 yang akhirnya kalah telak!

Sepanjang 47 kilometer, hingga berhasil tiba di rumah dengan rasa pegal di sekujur tubuh, saya punya catatan sendiri bahwa perbandingan atribut paslon Asyik dengan paslon pesaingnya, cukup jauh! Atribut Asyik mendominasi dengan varian yang beragam. Saya hanya tidak melihat warga yang mengenakan kaos paslon manapun. Padahal kaos ini cukup lumrah sebagai atribut kampanye yang menyasar pada lapisan masyarakat bawah.

Saya pernah mengamati, ketika membuat film dokumenter di perairan di Kaimana, Papua Barat, ada satu pemuda yang tinggal di desa yang jauh dari pusat keramaian, pelosok sekali. Pemuda ini rutin menyelam untuk mencari teripang sebagai mata pencahariannya. Uniknya, "kostum" menyelamnya cukup dengan kaos kampanye yang usang dari tahun yang tertera. Mungkin saja paslon yang tergambar di kaosnya itu juga sudah tidak menjabat lagi jika memang terpilih.

Terkadang warga yang mengenakan kaos paslon tertentu di Papua, berjumpa dengan warga lainnya yang mengenakan kaos serupa dari paslon pesaingnya. Tapi tidak pernah terjadi gesekan karena kaos-kaos kampanye yang digunakan lebih pada alasan kebutuhan hidup. Mereka tidak punya cukup banyak pakaian maka kaos kampanye itu bagian dari penampilan sehari-hari dan menjadi kampanye yang berlarut-larut sekuat usia kaos itu. Untuk agenda Pilpres 2019, bisa saja kaos kampanye Pilgub 2018 ditebar lebih banyak lagi sebagai suatu trik!

Asyik di sepanjang 47 kilometer dalam atribut kampanyenya, tentu bukan jaminan kemenangan, itu hanya "sepetak" dari wilayah Jawa Barat yang saya lihat selama melintasinya meskipun dengan mengkombinasikan kesaksian warga lainnya dan yang saya saksikan sendiri di wilayah Jawa Barat lainnya, atribut kampanye paslon Asyik tetap mendominasi. Tebaran atributnya terlihat di pemukiman elit hingga kelas masyarakat yang sederhana. Atribut kampanye paslon Asyik mudah diterima kesan dan pesannya tanpa harus berpura-pura, tanpa harus banyak dipoles dan dilebih-lebihkan.

Saya jadi teringat keeleganan dalam kesan dan pesan yang jujur serta kesantunan itu, terbukti ditunjukkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Tidak lama setelah mereka bekerja, masyarakat mulai memunculkan istilah "gubernur rasa presiden" karena janji kampanye pelan-pelan mulai dipenuhi dan pendekatannya pada masalah di masyarakat. Mereka juga sering dikunjungi tamu mancanegara untuk bekerja sama, bersikap terhormat ketika berkunjung ke negara lainnya serta pencapaian lainnya.

Dalam Pilgub 2018, masyarakat pasti tahu siapa yang ideal dan dengan sendirinya sudah paham untuk menilai. Saya sendiri melihat bahwa calon "gubernur rasa presiden" itu ada seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan di wilayah lainnya. Jika masyarakat ingin memiliki banyak "gubernur rasa presiden" yang dapat secara nyata membangun daerah dan kualitas masyarakatnya, pasti sudah tahu siapa mereka itu yang layak untuk dipilih!

(26 Juni 2018)

Berita Lainnya

Baca Juga