Header Ads Widget

Kupatan Berjamaah, Kupatan Batang

Foto: warga sedang melakukan diskusi bersam

Jawa Tenagah - Tumpeng ketupat dan makanan lainnya tertata rapi di balai TPI Dusun Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang Jawa Tengah, selasa (19/06) kemarin, dan terdapat sebuah perahu sederhana bertuliskan “Berjuang Tolak PLTU” yang rencananya akan dilarung ke laut dekat proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Selain itu juga warga melakukan doa bersama dan diskusi ringan bersama para aktivis lingkungan yang telah mendampingi warga dalam menolak PLTU.

Gelaran acara Kupatan yang mulanya hanya diadakan di sekitaran pegunungan Kendeng ini berubah menjadi agenda kolektif; Kupatan Berjamaah. Kupatan berasal dari bahasa jawa, Kupat yang artinya ngaku lepat (mengakui kesalahan).

Acara kupatan membawa satu pesan besar yang jelas dan tegas, bahwa ada yang tidak beres dengan pengelolaan lingkungan hidup di Jawa Tengah. Kupatan Batang tidak hanya sebatas halal bihalal dan mempererat tali silaturahim, tetepi juga untuk konsolidasi antar masyarakat dan aktivis pendamping agar selalu lurus jalannya dalam perjuangan melawan mega proyek PLTU.

Pembangunan PLTU di Kabupaten Batang sudah merenggut tanah masyarakat seluas 12.500 meter persegi lahan persawahan dan perkebunan dan juga telah menjarah kesejahteraan nelayan, karena pembangunannya tidak hanya di darat tetapi juga merambah area perairan dan kelak akan memakan sebagian luas area tangkap nelayan. Sejak awal pembangunannya menuai penolakan dari masyarakat setempat terutama dari masyarakat Dukuh Roban Timur yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai nelayan.

Foto: perahu bertulisan "berjuang tolak PLTU"

Masyarakat Dukuh Roban Timur sudah melakukan penolakan terhadap pembangunan PLTU sejak tahun 2011 sampai sekarang. Tidak hanya masyarakat nelayan Roban, masyarakat petani di Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso juga menolak berdirinya PLTU.

Menurut tokoh masyarakat setempat, Dulhakim, PLTU sangat merugikan bagi nelayan kecil. Karena pembangunannya yang mulai merambah area perairan dapat mengganggu ekosistem sekitar sehingga ikan-ikan semakin menjauh. Nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan ikan, otomatis kebutuhan solar meningkat sedangkan penghasilan tidak bertambah. Tidak hanya itu, limbah lumpur yang dihasilkan dari proses pengerukan tidak ditempatkan di penampungan khusus, tetapi dibuang ke laut. Hal itu dapat merusak alat tangkap ikan karena tersangkut atau tertutup lumpur buangan.

“Pembangunan PLTU membuat ikan-ikan semakin menjauh, jadi nelayan harus melaut lebih jauh, solar yang digunakan jadi semakin banyak. Jaring-jaring juga sering rusak karena tersangkut atau tertutup lumpur buangan. Padahal PLTU mempunyai dana yang besar, tetapi kenapa tidak bisa membuat penampungan lumpur. Justru lumpunya dibuang ke laut”, jelas Dulhakim.

Meskipun semua perjuangan yang telah dilakukan belum menghasilkan yang diinginkan, ia berharap masyarakat dan para aktivis tetap konsisten dalam menolak pembangunanPLTU.

“Jangan sampai perjuangan sejak 2011 sampai sekarang menjadi sia-sia. Kita harus tetap berjuang menolak PLTU”, harapnya.

Selain itu tampak hadir dalam acara tersebut vokalis band asal bali Robi (Navicula) sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan atas pembangunan PLTU, ia mengatakan bahwa penolakan pembangunan PLTU juga terjadi di berbagai daerah, salah satunya di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali. Menurutnya, industri batubara merupakan industri paling kotor di dunia, karena dari mulai penambangan, pengangkutan hingga pemanfaatannya menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar.

“Penolakan PLTU batubara juga terjadi di Bali. Industri batubara adalah industri paling kotor di dunia, karena mulai dari penambangan, pengangkutan sampai pemanfaatannya sangat merusak lingkungan”, kata Robi.

Dimana negara lain mulai mengurangi penggunaan batubara karena dampaknya yang sangat buruk bagi lingkungan, bahkan beberapa negara, salah satunya Cina yang merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, mulai menutup PLTU dan beralih ke sumber energi terbarukan.

“Cina saja mulai menutup PLTU-PLTU nya, tapi Indonesia justru membangun baru”, imbuhnya.

Foto: warga sedang menaiki perahu 

Dalam acara kupatan tersebut, hadir pula Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis dan juga videografer dari film-film dokumenter Watchdoc yang datang untuk mendokumentasikan acara tersebut.

Selain di Batang, acara kupatan berjamaah ini juga diselenggarakan di beberapa titik di Jawa Tengah seperti Rembang, Pati, Gombong (Kebumen), Surokonto (Kendal), dan Tambakrejo (Semarang) dan puncaknya akan diselenggarakan di Kota Semarang, yaitu pada hari ini Kamis, 21 Juni 2018. 

Kegiatan merupakan bentuk konsolidasi di titik-titik konflik pembangunan dengan harapan bahwa persoalan lingkungan hidup menjadi perhartian bersama. Dan untuk mengingatkan pemerintah agar pembangunan selalu memperhatikan kepentingan masyarakat dan keberlangsungan lingkungan hidup. Dari tahun ke tahun, tak ada masalah lingkungan yang terurai dan menemui titik cerah. Yang ada malah bertambahnya titik-titik konflik. Sementara, di tengah situasi pilgub Jawa Tengah, antara kedua calon nampak belum ada komitmen yang serius bagi lingkungan hidup. (Ar)

Berita Lainnya

Baca Juga