Ilustrasi bendera
Reaksi dalam Aksi Bela Palestina di Indonesia tidak pernah sama dengan aksi serupa beberapa tahun sebelumnya setiap ada ketegangan entah di Gaza atau Tepi Barat. Reaksi kali ini lebih didukung oleh sensitifitas Umat Islam Indonesia yang baru bangkit dari keadaan yang nyaris melemahkan akibat masalah SARA di dalam negeri sejak tahun 2016. Umat Islam Indonesia yang melakukan Aksi Bela Palestina, bisa jadi terbangun oleh perasaan kuat dalam perjuangan yang sama dan menjadi energi baru pada peran aktif internasional dalam menolak bentuk penjajahan.
Dalam situasi terakhir, Umat Islam Dunia menaruh perhatian serius pada demonstrasi besar rakyat Palestina yang terjadi di perbatasan Jalur Gaza dan Israel sejak 30 Maret 2018 dalam rangka peringatan An-Nakbah, hari yang dianggap bencana oleh rakyat Palestina. Demonstrasi yang menewaskan banyak warga Palestina termasuk relawan medis yang dilindungi hukum internasional itu penting artinya bagi arah politik Palestina, Israel, bahkan komunitas internasional yang melibatkan diri dalam konflik tersebut!
Ketegangan yang berujung tragedi ini direspons oleh Kuwait dengan menyiapkan dan mengajukan rancangan resolusi pada pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB yang bertujuan memberikan perlindungan internasional terhadap rakyat Palestina di bawah penjajahan dan blokade Israel. Sebagaimana dukungan penuh terhadap Israel, delegasi Amerika Serikat yang dipimpin duta besarnya untuk PBB Nikki Haley, menolak resolusi dari Kuwait dengan menggunakan hak veto yang memicu hujatan dan tudingan mendukung genosida.
Istilah An-Nakbah pertamakali digunakan rakyat Palestina pada 15 Mei 1948, satu hari setelah klaim berdirinya negara Israel melalui "kendaraan" Zionisme sebagai gerakan nasionalis Yahudi yang dalam konteks historis, sosio kultural dan politik, sangat terang-terangan merebut wilayah Palestina yang oleh propaganda Barat terus dialihkan bahwa berdirinya negara Israel bukan merupakan penjajahan sehingga memaksakan ide pada dunia bahwa Palestina dan Israel sebaiknya hidup berdampingan secara damai!
Umat Islam Dunia, yang selama 70 tahun telah membangun pemahaman yang didasari oleh sumber-sumber agama, politik internasional dan kebrutalan Israel selama ini, tetap tidak memberi toleransi terhadap jalan tengah bahwa Palestina dan Israel harus hidup berdampingan. Rakyat Palestina adalah penduduk sah yang secara turun temurun melintasi berbagai zaman, agama dan sejarah hingga menganut agama Islam sejak 14 abad yang lalu dan hidup dalam amanat menjaga tanah suci ketiga yang di atasnya berdiri Masjid Al-Aqsa.
Umat Islam Indonesia juga demikian, siapapun pemimpinnya harus memahami sejarah agar tidak sembarangan memodifikasi cara pandang terhadap penjajahan Israel termasuk pendekatan masalahnya. Indonesia seharusnya bisa mencontoh sikap Turki di masa Recep Tayyip Erdogan yang meskipun masih belum memutus hubungan diplomatik dengan Israel, namun terus bersikap keras membela Palestina. Turki sedang membentuk opini dunia dengan sikap berani dan pembangunan kekuatan yang kelak dapat menentukan kapan masa akhir hubungan diplomatik Turki-Israel yang lebih diinginkan oleh Umat Islam Dunia!
Di masa sekarang, seharusnya Indonesia juga sudah dalam kemajuan membentuk opini dunia bahwa penjajahan yang dialaminya sendiri oleh bangsa Eropa dan Jepang adalah kepahitan yang tidak boleh lagi terulang dan dialami oleh bangsa lainnya. Pembukaan UUD 1945 yang dibacakan setiap upacara hari senin adalah doktrin penting tentang bagaimana rasanya sebagai bangsa yang terjajah dan peringatan hari kemerdekaan yang penuh kekhidmatan itu, juga bertujuan agar bangsa Indonesia dapat memahami apa artinya mengusir penjajah hingga tidak menginjakkan sejengkal tanah pun!
Kehadiran anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Staquf dalam seminar American Jewish Committee sangat jelas bersifat diplomasi perdamaian antara Islam dan Yahudi atau Palestina dan Israel yang berarti membiarkan Israel tetap menduduki wilayah Palestina dengan status sebagai penjajah. Tindakan ini bukan semata mencederai hubungan Republik Indonesia-Palestina tapi juga mempermalukan bangsa Indonesia yang selama ini dihormati sebagai bangsa merdeka yang menolak penjajahan di muka bumi.
Jika memang diplomasi ini bertujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak, apakah cara diplomasi semacam ini sudah dalam kesepakatan dengan rakyat dan pemerintah Palestina? Jika reaksi pemerintah Palestina mewakili kegeraman rakyatnya dengan membuat pernyataan protes dan mengutuk secara resmi, maka dipastikan bahwa Palestina telah dilangkahi secara tidak etis! Cukup jelas bahwa logika "diplomasi perdamaian" adalah kehendak yang berada di pihak yang berlawanan dengan rakyat Palestina dan mengabaikan keberadaan Umat Islam Dunia yang mendukung dan membelanya!
Pemerintah RI di masa sekarang boleh jadi berada dalam target untuk dilibatkan dalam misi melanggengkan eksistensi penjajahan Israel di Palestina melalui kedok perdamaian, tapi sikap Umat Islam dalam dua Aksi Bela Palestina yang besar dan gelombang hujatan terhadap Yahya Staquf sudah membuktikan bahwa kebangkitan Umat Islam Indonesia sangat penting artinya. Terbukti ketika logika jalan tengah itu tampak kesalahannya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj sampai harus membuat klarifikasi bahwa kehadiran Yahya Staquf di Israel tidak terkait dengan organisasi PBNU.
Apapun dalihnya, Umat Islam Indonesia secara luas sulit mempercayainya sebab PBNU dianggap sering mengeluarkan pernyataan kontroversial yang mengusik Umat Islam lainnya terutama keberpihakan pada pemerintahan Joko Widodo yang cukup sering bermasalah dengan Umat Islam seperti kriminalisasi Ulama dan aktivis, pembubaran kajian Islam, melahirkan Perppu No.2 Tahun 2017 tentang ormas, mendukung penista agama dan yang selalu diingat adalah menghalangi Aksi Bela Islam dengan massa yang notabene konsisten dalam sikap kerasnya pada Israel.
Dalam kapasitasnya sebagai Wantimpres, tentu masalah Yahya Staquf bisa mulai membuka tudingan bahwa dukungan pemerintahan Joko Widodo terhadap rakyat Palestina hanya setengah hati meskipun RI menyatakan mendukung resolusi perlindungan rakyat Palestina di PBB. Pemerintahan Joko Widodo harus menunjukkan posisi secara pasti terhadap konflik Palestina-Israel! Untuk apa kehadiran Menteri Agama pada Aksi Bela Palestina jika pada akhirnya dirusak sendiri?
Atas pelanggaran etika yang seharusnya Presiden Joko Widodo bertanggung jawab, kepercayaan rakyat Palestina wajar jika kemudian hanya pada Umat Islam Indonesia non pemerintah yang secara nyata banyak memberi bantuan untuk rakyat Palestina seperti yang dilakukan oleh para pejuang kemanusiaan, beberapa organisasi kemanusiaan resmi, bahkan peran nyata beberapa ormas Islam untuk Palestina yang salah satu di antaranya dihujani tudingan negatif, radikal dan dalam incaran pembubaran oleh pemerintah sendiri!
Misi besar dari negara-negara kuat yang eksis berkomitmen dengan Zionisme sejak Deklarasi Balfour 1917 dalam merangkul pihak-pihak di dalam negeri Indonesia untuk menjaga eksistensi penjajahan Israel, sulit untuk berhasil! Apapun polanya akan selalu menyentuh prinsip agama, dinding keimanan dan solidaritas yang tumbuh bersama masyarakat dunia yang kian luas mendukung Palestina dan dampak ekonomisnya bisa kembali menyasar pada boikot produk sponsor Israel.
Untuk dampak politik di dalam negeri atas tindakan Yahya Staquf terutama karena telah berlanjut pada kegiatan pertemuan di Israel, maka Umat Islam Indonesia berhak untuk mengharapkan kepemimpinan yang lebih dapat dipercaya untuk berkomitmen menolak penjajahan dengan pemahaman sejarah yang valid dan pemahaman secara sosial. Pemimpin negeri ini harus dipercaya untuk proaktif mendukung perjuangan rakyat Palestina dan terus membangun hubungan dan dukungan yang sepenuh hati terhadap rakyat Palestina!
Konflik Palestina-Israel ternyata akan cukup kuat pengaruhnya pada pertarungan politik di Indonesia dalam konteks pemilihan umum. Rangkaian peristiwa antara tragedi An-Nakbah, aksi Yahya Staquf dan Pemilihan Kepala Daerah 2018 cukup berdekatan. Peran gabungan alumni Aksi Bela Islam, Aksi Bela Palestina beserta pendukungnya, akan mengambil peran yang signifikan terutama di pertarungan Pilgub 2018 meski konsekuensinya dilabeli sebagai "politik identitas" yang oleh lawan-lawannya distigmakan secara negatif.
Peran massa "politik identitas" yang keras pada pembelaannya terhadap Islam dan Palestina, tentu akan berlanjut di arena Pilpres 2019 dan diprediksi akan lebih solid dan diperkuat secara eksternal. Cukup relevan bahwa opini rakyat Palestina akan turut "membisikkan" siapa yang layak dipilih untuk memimpin negara ini dan memori sejarah akan hinggap di benak rakyat Indonesia bahwa Palestina adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan RI bahkan sejak tahun 1944.
Sebagai hubungan timbal balik dan solidaritas saudara seiman, maka sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang sedang bangkit, Umat Islam Indonesia hanya membutuhkan pemimpin yang tidak tergoda untuk melancarkan misi jalan tengah terhadap konflik Palestina-Israel, apalagi yang bisa dipaksa untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang mulai menjadi isu. Seorang Presiden RI nantinya, harus yang bersesuaian secara jujur, jelas dan tegas dalam dukungannya terhadap perjuangan rakyat Palestina!
Oleh : Fahmi M.S Kartari
(Sutradara Film Dokumenter & Pemerhati Sosial Politik)
(24 Juni 2018)