
SeputarDaerah.Com - Partai Buruh serta organisasi serikat buruh lebih memilih pola Perpu ketimbang omnibus
law UU Cipta Kerja dibahas di Pansus atau Baleg DPR RI terhadap omnibus law UU
Cipta Kerja.
Dalam hukum ketatanegaraan, pembahasan produk undang-undang,
ada dua metode atau pilihan. Pertama adalah Perpu dengan memandang
kedaruratan, kedua melalui DPR RI. Dalam kaitan itu, buruh memilih metode
Perpu.
Menurut Presiden Partai Buruh Said Iqbal, pilihan itu diambil setelah mempertimbangkan pengalaman di awal-awal pembahasan UU Cipta Kerja berapa tahun yang lalu, di mana buruh, petani, nelayan, kelas pekerja merasa dibohongi. “Maka pembahasan ulang UU Cipta Kerja ini kami menolak atau tidak setuju terhadap dilakukan di DPR RI,” ujarnya Jakarta, Minggu 1/1/22
DPR dinilai tidak hanya “menyakiti” buruh dalam kasus omnibus law, tetapi juga lahirnya UU KUHP yang di dalamnya ada pasal karet yang rentan terjadi kriminalisasi.
Buruh juga tidak setuju dengan UU PPSK, khususnya
terkait JHT yang tidak bisa diambil 100 persen saat PHK dan harus menunggu masa
pensiun dengan adanya istilah akun utama dan akun tambahan. Dan yang terdahulu
UU KPK, KPK dilemahkan. UU PPRT bahkan tidak kunjung disahkan meski sudah 17
tahun.
“Fakta-fakta itulah yang membuat buruh tidak percaya dengan DPR RI yang sekarang,” kata Said Iqbal.
Sementara itu, terkait dengan isi Perpu. Partai Buruh
menolak atau tidak setuju.
“Setelah mempelajari, membaca, menelaah, dan mengkaji
salinan Perpu No 2 tahun 2022 yang beredar di media sosial, dan kami sudah
menyandingkan dengan UU Cipta Kerja serta UU No 13 Tahun 2003, maka sikap kami
menolak,” ujarnya.
Beberapa pasal yang ditolak oleh buruh, yang pertama pasal
tentang upah minimum. Di dalam Perpu, upah minimum kab/kota digunakan istilah
dapat ditetapkan oleh Gubernur. Itu sama dengan UU Cipta Kerja. Bahasa hukum
“dapat”, berarti bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur. Usulan buruh adalah,
redaksinya adalah Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Hal lain, di dalam UU Cipta Kerja, upah minimum kenaikannya inflansi atau pertumbuhan ekonomi. Menggunakan bahasa “atau”, dipilih salah satunya. Sedangkan di UU 13/2003 didasarkan pada survey kebutuhan hidup layak dan turunannya PP 78/2015 menggunakan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Menggunakan kata “dan”, jadi akumulasi dari keduanya.
Sementara di dalam Perpu berdasarkan variabel inflansi, pertubuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Ini yang ditolak buruh. Sebab dalam hukum ketenagakerjaan tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum
“Kami menduga indeks tertentu seperti di dalam Permenaker 18/2022, menggunakan indeks 0,1 sampai 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” kata Iqbal.
“Dalam pasal lain yang kami tolak di Perpu adalah adanya Pasal 88F yang berbunyi, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah. Sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan,” lanjutnya.
Permasalahan lain terkait dengan pengupahan, Perpu juga menegaskan hilangnya upah minimum sektoral.
Iqbal menyimpulkan, persolan dalam Perpu terkait upah minimum
yang ditolak buruh adalah:
Pertama, UMK bisa diputuskan gubernur bisa juga tidak.
Kedua, formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi,
dan indeks tertentu. Buruh menolak menggunakan indeks tertentu. Ketiga,
Pemerintah bisa mengubah formula kenaikan upah minimum, ini juga tidak ditolak
buruh. Keempat, upah minimum sektoral dihilangkan.
Catatan kedua yang ditolak buruh adalah outsourcing atau
alih daya. Di dalam UU Cipta Kerja, Pasal 64, 65, dan 66 dihapus. Prinsipnya,
alih daya diperbolehkan oleh Perpu, sehingga tidak ada bedanya, meski ada
ruang dialog.
Dalam Perpu disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian
alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah.
“Akan diatur dalam peraturan pemerintah, mana yang boleh
mana yang tidak. Makin tidak jelas. Karena semakin menegaskan semua pekerjaan
bisa di outsourcing. Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah?
Bisa seenak-enaknya dong?” Tegas Said Iqbal.
Untuk itu, pihaknya meminta sekurang-kuranya outsourcing
harus kembali ke UU No 13/2003, dengan ada batasan yang jelas.
Catatan ketiga,Hal lain yang menjadi sorotan adalah terkait
pesangon. Dalam Perpu tidak ada perubahan. Buruh meminta kembali pada UU No 13
Tahun 2003. Sementara jika upah di tingkat manager atau direksi dinilai terlalu
tinggi, bisa dibuat Batasan 4 PTK.
Catatan keempat, yang sorot adalah tentang PKWT yang di UU
Cipta Kerja tidak dibatasi periode kotraknya. Di Perpu tidak ada perubahan,
sehingga buruh menolak ini, karena dengan adanya pasal ini kontrak kerja bisa
dibuat berulangkali.
Catatan kelima, terkait dengan PHK tidak ada perubahan.
Masih sama dengan UU Cipta Kerja. Partai Buruh menolak system mudah rekrut
mudah PHK.
Catatan keenam, tenaga kerja asing. Sama persis dengasn UU
Cipta Kerja. Partai Buruh menolak dan meminta harus ada izin untuk TKA. Kalau
izin belum keluar, tidak boleh bekerja.
“Kemudian sanksi pidana, sama persis dengan UU Cipta Kerja. Kami minta kembali ke UU 13/2003. Berikutnya adalah pengaturan waktu kerja juga sama persis dengan UU Cipta Kerja. Begitu juga pengaturan cuti,” urai Said Iqbal.
“Pengaturan cuti panjang yang hilang, kami tolak. Begitu juga pengaturan cuti, harus kembali ke UU No 13 Tahun 2003.”
Sementara itu, terhadap isi UU Cipta Kerja mengenai pasal Bank Tanah, di Perpu tidak ada perubahan. Artinya tetap berlaku UU Cipta Kerja. “Kami tolak, karena merugikan petani dan pemilik tanah orang kecil. Bank Tanah diorientasikan untuk kepentingan korporasi besar, perkebunan sawit, dan sebagainya. Partai buruh dan SPI meminta bank tanah dikorelasikan dengan reforma agraria. Bank tanah yang dimaksud adalah untuk didistribusikan kepada petani,” tegasnya.
Langkah yang akan diambil, adalah mempertimbangkan langkah hukum dengan melakukan judicial review. Sementara langkah gerakan, akan ada aksi besar-besaran. Di samping itu, pihaknya juga akan melakukan lobi.
Partai
Buruh dan serikat buruh berharap bisa bertemu dengan Presiden Jokowi untuk
memberikan masukan.
“Tentang kapan waktu pekaksanaan aksi dan gugatan terhadap
Perpu kami akan diskusikan terlebih dahulu dengan elemen yang ada Partai
Buruh,” ujarnya.
Reporter: Marulloh