
SeputarDaerah.Com - Perputaran pakaian impor bekas membuat Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki gelisah. Sebab, tidak hanya mengganggu perkembangan konveksi lokal, pakaian bekas impor juga terang-terangan berjualan di e-commerce hingga sosial media. Sehingga membuat trend di kalangan milenial dan Gen Z.
"Ini sudah seperti kayak lifestyle kan gitu loh. Itu yang memukul. Karena itu saya kan dapat keluhannya kemudian dari para pedagang, para produsen pakaian jadi lokal. Sehingga saya kira sangat menggangu," kata Teten kepada tim Sudut Pandang detikcom, Senin (24/4/2023).
Selain sudah jadi tren, Teten juga mengatakan larangan impor pakaian diatur dalam UU dan Peraturan Menteri Perdagangan. Karena itu, dengan adanya penegakan aturan sejak munculnya perintah Presiden Jokowi, Teten berharap agar masyarakat menghindari pembelian pakaian bekas impor sehingga tidak membuat Indonesia menjadi penyerap 'sampah'.
"Itu sudah dilarang. Apapun barang bekas itu, dilarang masuk ke Indonesia. Kita bisa pahami undang-undang itu supaya Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan sampah dunia," ujarnya.
Teten mengatakan apa yang dilakukan pemerintah dengan larangan hingga penindakan Impor pakaian bekas, semata-mata demi melindungi industri tekstil lokal di Indonesia. Hal ini juga bisa dijadikan momentum kebangkitan industri tekstil lokal di Indonesia.
"Bahaya sekali masyarakat Indonesia sudah menjadi konsumen produk-produk luar bukan lagi sebagai produsen. Dengan momentum saat ini dimana tren belanja anak muda itu lebih mencintai produk-produk non mass production non brand luar tetapi brand lokal produk lebih unik harga terjangkau oleh kantong anak muda sekarang," ungkapnya.
Lain halnya dengan niat pemerintah, para pedagang yang sudah lama bergelut dalam bisnis jual beli pakaian bekas impor justru menginginkan adanya perubahan regulasi. Koordinator Pedagang Pakaian Bekas Pasar Senen, Rivai Silalahi meminta pemerintah dapat legalkan impor pakaian bekas yang masuk ke Indonesia. Sebagai solusi, para pedagang juga siap kalau barang dagangan mereka harus dibebani pajak.
"Kita paling harapkan ini dilegalkan. Kalau ini tidak bisa dilegalkan, ya tinggal Kemendag atur kuota impor agar lebih terkontrol. Kalau harus bayar pajak, lebih bagus. Uang masuk ke negara, bisa dipakai ke pembangunan. Saya rasa itu yang paling bagus, jadi kita dibina," ujar Rivai.
Ia membandingkan kondisi ini dengan situasi di luar negeri. Rivai berpendapat, negara-negara maju melihat pasar thrifting sebagai peluang ekonomi. Ia pun menganggap bahwa potensi negara ini jauh lebih menjanjikan. Terlebih, Indonesia mempunyai permintaan pasar yang besar.
"Kenapa mereka bisa kita tidak, karena yang butuh produk ini masih banyak. Apalagi kalangan menengah bawah," ujarnya.
Meski begitu, Rivai mengatakan bahwa solusi yang dihasilkan dari audiensi dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Koperasi UMKM sudah bijaksana. Mereka diperbolehkan untuk menghabiskan barang dagangan yang terlanjur mereka miliki. dengan demikian, hal itu dapat memperkecil kerugian para pedagang.
"Tapi kemarin pernyataan dari Pak Teten, sebenarnya dengan Pak Zulhas itu udah bagus. Jadi dia sampaikan, untuk pedagang itu boleh berjualan, sampai barang kita habis. Dan dia udah jamin itu," ujarnya.
(edo/vys -detikfinance)